Jurusan
PLS (Pendidikan Luar Sekolah) berdiri sejak tahun 1982 (khususnya di universitas
saya) sebagai pengganti jurusan IPPS. Pada awalnya jurusan PLS ini memang
memiliki regulasi hukum yang jelas karena dianggap dapat berkontribusi dalam
pembangunan negara kita. Namun seiring berjalannya waktu tepatnya pada tahun
2003 karena revisi undang undang SISDIKNAS, jurusan Pendidikan Luar Sekolah
hingga sekarang tidak lagi memiliki regulasi hukum yang jelas karena PLS tidak
dimuat didlam UU SISDIKNAS Tahun 2003. Bahasa
hukum adalah bahasa yang sudah diuji secara ilmiah dan untuk bahasa hukum
sendiri tidak dapat diimpelmentasikan lain selain maksud dari bahasa hukum
tersebut.
Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah seperti apa yang telah dibahas diparagraf sebelumnya
yang telah berdiri sejak tahun 1982 secara logika tentunya sudah menghasilkan
alumnus yang banyak. Sesuai dengan hasil pemantauan saya mengenai jumlah
alumnus PLS ternyata rata rata tidak bekerja disektor PLS melainkan menyimpang
disektor lain (otomatis pemerintah rugi karena telah mensubsidi PLS). Adapun
yang bekerja disektor PLS namun hanya beberapa saja dan ditambah yang bekerja
disektor PLS ini menjadi PNS.
Jurusan
PLS adalah jurusan yang memiliki kajian sangat luas tepatnya di pendidikan
informal dan nonformal namun karena PLS tidak memiliki keahlian khusus yang
tidak dimiliki jurusan lain maka kajian yang sangat luas ini menjadi tidak ada
artinya. PLS tidak memiliki kemampuan khusus karena PLS menggarap kajin
informal dan nonformal, otomatis apabila yang dikaji informal dan nonformal
maka objek materi dan forma PLS menjadi tidak jelas. Namun yang saya tidak
mengerti mengapa masih saja ada yang mengatakan satuan PLS adalah kelompok
belajar, pelatihan, kursus dll padahal sesuai UU SISDIKNAS itu adalah milik
nonformal bukan PLS. Menurut pandangan dan hasil kajian saya sampai kapanpun
PLS tidak akan memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh jurusan lain
karena objek materi dan forma nya tidak jelas.
Melihat
dari kurikulum, apabila memang konstruk PLS jelas maka otomatis jurusan PLS
disuatu Universitas dengan Universitas lain memiliki kurikulum yang tidak
terlalu jauh berbeda. Namun kenyataannya kurikulum PLS di Universitas A dan B
beda, contohnya di Universitas A ada konsentrasi pelatihan namun di universitas
B tidak ada dan yang ada konsentrasi bimbingan penyuluhan namun di universitas
A tidak ada (sebagai contoh saja). Melihat dari contoh tersebut maka sudah
jelas konstruk PLS tidak jelas karena kurikulum berisi mata kuliah mata kuliah
yang apabila digabungkan akan menjadi PLS dan karena kurikulum PLS A dan PLS B
berbeda maka otomatis konstruknya pun berbeda dan dapat dikatakan konstruk PLS
tidak jelas.
Melihat
manfaat memang apabila kita masuk ke jurusan PLS tidak ada ruginya karena
sedikit banyak kita mendapatkan pengetahuan. Namun yang jadi masalahnya apa
bedanya masuk jurusan PLS dan tidak? Pembedanya hanya gelar saja? Apakah kita
sudah silau akan gelar? (jawab sendiri oleh anda). Bukan hanya itu, yang menjadi korban adalah
orang tua yang telah membiayai anaknya agar kuliah dijurusan PLS dengan harapan
setelah lulus anaknya memiliki profesi yang jelas. Selain itu apabila pihak
yang hanya melihat hasilnya saja (padahal alumnus sedikit yg menggarap bidang
PLS) maka menurut saya pihak tersebut terjebak dalam ke pragmatisan. Intinya
mereka hanya melihat hasil tampa mengetahui sumber hasilnya (halal atau haram).
Dari
hasil bahasan dari awal maka dapat dipahami bahwa PLS tidak memiliki keahlian
khusus, reguluasi hukum, konstuk yang
jelas dan karena Indonesia memakai hukum positif maka apabila ada
ketidakjelasan sudah tentu itu menyimpang. Dapat pula dikatakan bahwa PLS telah
menyimpang dari hukum yang digunakan Indonesia.
Agar
PLS ini tidak terus menyimpang maka menurut hemat saya PLS harus diganti
namanya dengan yang lebih tepat agar nantinya PLS dengan nama barunya memiliki
regulasi hukum yang jelas, keahlian khusus, konstruk yang jelas. Untuk nama
baru PLS yang kami sarankan akan di tulis diartikel selanjutnya.
No comments:
Post a Comment