Thursday 15 November 2012

MANUSIA MAHLUK SUPRA EMPIRIS


Manakala manusia sebagai mahluk subyektif mengambil keputusan tertentu (mengeneralisir/deduksi) tentang fenomena spesiesnya melalui pikirannya, maka keputusannya tersebut juga adalah subyektif.
Dengan demikian arti hidup bahagia adalah konsep subyektif, karena persepsi dibangun atas potensi rasional empiris.
Kalaupun memasukan paham idealisme di dalamnya, hal itu bukan berarti sama sekali tidak terlepas dari pikirannya. Manusia tidak bisa berpikir dalam arti imparsial, karena ia tidak bisa menjadi lain kecuali dirinya yang terikat oleh keterbatasan kedirian, ruang dan waktu.



Sebagai bukti adalah paradoks yang di kemukakan oleh Arrow yang mengatakan bahwa mustahil homo economicus mengenal arti kesejahteraan sosial. Itu berarti bahwa konsep kesejahteraan tidak bisa hidup berdampingan dengan konsep homo economicus. Yang berarti juga manusia tidak mungkin memahami arti kebahagiaan sejatinya sendiri. Kecuali mungkin kebahagiaan artifisial yang melulu tertuju pada penguasaan artifisial dan materi.
Maka keputusan realitas hidup bahagia atau hidup lebih maju harus digeser pada keputusan yang di dasarkan pada pengertian supra realitas hidup bahagia atau hidup maju, mengingat manusia adalah mahluk supra empiris.

Untuk bisa mencapai keputusan haq yg dimaksud di atas, tiada lain manusia harus menggunakan potensi supra logika/meta logika, karena hanya dengan itu manusia bisa menegakan konsistensi logikanya.
Hanya dengan kondisi seperti inilah pula manusia bisa tepat dalam menempatkan diri sebagai supra objek dari Maha Subyek (Tuhan).
Dan kemudian dalam kerangka untuk mencari dasar2 meta logika, tiada lain manusia harus berpaling pada nash nash wahyu sebagai premis yang kemudian hasilnya divalidasi juga oleh wahyu.
Bila dikaitkan dengan pendidikan yang di artikan sebagai upaya untuk mencapai hidup bahagia bukan lagi konsep yang berangkat dari hasil spekulasi, melainkan dari keyakinan absolut demi untuk mempertahankan hakekat manusia sebagai mahluk fitrah. Sehingga KEBAHAGIAAN TIDAK SEPAKET DENGAN DEHUMANISASI dan KEBAHAGIAAN JUGA TIDAK BERARTI SEBAGAI KEHANCURAN DAHSYAT KEHIDUPAN YANG TERTUNDA.

Retorikanya perubahan dan perkembangan selalu dalam kontrol CARA PANDANG manusia fitrah.
Arti lainnya perubahan lingkungan realitas empiris sebagai hasil proses pendidikan tidak mempengaruhi fitrah manusia sebagai mahluk supra empiris tetapi semakin membuka cahaya kefitrahan manusia. Wallahu a lam.

No comments:

Post a Comment