Thursday 15 November 2012

Ilmu Sosial atau Wahyu Tertulis kah Pedoman Habluminannas ?


Mungkinkah terjadi aktivitas pendistribusian (perdagangan/jasa) yang melahirkan regulasi dan pengawasan (administrasi) bila tidak ada aktivitas sektor ril yaitu aktivitas eksplorasi, eksploitasi dan manipulasi (Produksi)?
Dan mungkinkah terjadi proses aktivitas produksi bila tidak ada benda alam fisik materi yang merupakan bahan dasar atau obyeknya?
Serta mungkinkah ada bahan dasar atau obyek sektor ril bila tidak ada yang menciptakannya?


Jawaban pastinya adalah TIDAK MUNGKIN TERJADI, walau sehebat apapun manusia dgn potensi akal pikiran yang dimilikinya.
Maka dengan demikian, realitas distribusi/perdagangan/jasa/regulasi/pengawasan/administrasi/birokrasi, pokoknya seluruh aktivitas manusia yang dikatagorisasikan pada motif memenuhi kebutuhan hidup atau aktivitas manusia yang didasarkan pada maksud mendapatkan pamrih duniawi yang terwujudkan dlm berbagai tingkat dan peran termasuk juga proses pendidikan di dalamnya, merupakan kondisi kelanjutan akibat dari adanya aktivitas manusia mengeksplorasi, eksploitasi, manipulasi (produksi) benda alam fisik materi yang dikonsepsikan memiliki nilai guna bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya secara subyektif.

Dari analisa secara aposteriori atau korespondensi di atas menggiring pada suatu aksioma bahwa hanya akibat aktivitas terarah/sadar manusia pada benda alam fisik materilah (sektor ril) yang menghasilkan nilai ekonomi, adapun aktivitas manusia dengan manusia lainnya (habluminannas) yang terkait dgn hal ini tidak menghasilkan nilai ekonomi, tetapi lebih cenderung menunjuk pada realitas proses pembagian benda yang bernilai ekonomi tsb.
Aktivitas bersama manusia dgn manusia lainnya, contoh salah satunya adalah proses pendidikan, sebenarnya tidak menghasilkan nilai ekonomi (tidak menghasilkan uang), walau kemudian guru mendapatkan gajih, imbalannya tsb melulu disebabkan oleh karena ke efektifan dari peraturan (regulasi) yang dibuat pemerintah. Adapun sebenarnya nilai ekonomi yang berbentuk gajih/honor itu sendiri dihasilkan dari pajak sbg bagian keuntungan yg disetor ke negara hasil dari aktivitas sektor ril masyarakat/ perorangan/perusahan atau penghasilan dari sektor ril yang dikelola oleh pemerintah itu sendiri.

Bila benda bernilai ekonomi yang ada didunia ini disatu sisi dihadapkan pada kondisi obyektif manusia yg terikat oleh suatu realitas psikologis egosentrism, primordialism, ethnosentrism yang menganggap dirinya, statusnya, golongannya, bangsanya lebih penting dan hakekat nilai ekonomi yang sangat dibutuhkan itu jumlahnya terbatas di sisi lainnya, dalam pembagian/distribusi/regulasi nilai ekonomi tsb pengaturannya diserahkan pada kemampuan manusia, maka bisa diyakini kondisi keadilan yang diharapkan tidak akan pernah mampu diwujudkan.
Hal ini bisa dimengerti karena selama manusia berpredikat sbg homo economicus, yaitu mahluk yang menempatkan benda2 bernilai ekonomi sebagai rengking utama dan pertama dalam kepentingan hidupnya, maka manusia tidak akan pernah bisa bertindak adil/objektif/jujur/amanah dalam hal yang terkait dengan sesuatu yang bernilai ekonomi.
Walaupun kemudian manusia mengembangkan ilmu sosial yang berbasiskan filsafat mendalam, spt ilmu ekonomi dan ilmu hukum untuk dijadikan sebagi rujukan utama dalam menghasilkan produk hukum atau peraturan yang disertai dengan juklak dan juknis yang super detil dan ketat dalam mekanisme pelaksanaan maupun pengawasannya serta didorong oleh keinginan mewujudkan obsesi keadilan yang begitu besar, namun dapat dipastikan upaya tersebut hanyalah merupakan upaya yang akan menjadi penyebab semakin senjangnnya keadilan sosial ekonomi dan semakin inefesiennya pembiayaan.
Kecuali semua manusia memiliki pemahaman yang sederajat dan merata tentang realitas fenomena ekonomi dan hukum serta terlibat seluruhnya dalam proses aktivitas sektor ril, pembuatan undang2/peraturan, pelaksanaan sampai pada tahap pengawasannya. Dan ini tidak akan mungkin!
Oleh karena itu Selama undang2/peraturan, pelakasanaan dan pengawasannya dilakukan oleh sebagian kecil manusia, maka manusia2 yang sebagian kecil ini pula yang kepemilikan nilai ekonominya berada di atas rata2 dan kemudian akan menempatkan sebagian besar manusia sisanya berkepemilikan benda bernilai nilai sosial ekonomi jauh di bawah rata2.

Keadilan sosial ekonomi hanya akan terwujud bila manusia berserah diri diatur oleh dzat yang tidak membutuhkan sama sekali benda bernilai ekonomi. yaitu Tuhan. Dan kemudian manusia sepakat secara bhatin dan lahir pada adanya Tuhan yang yang menciptakan benda bernilai ekonomi tsb memiliki sifat Maha mengawasi krena tidak pernah tidur dan lalai (tanpa reduksi dan intepretasi akal semata) dan sepakat pula menjadikan wahyu tertulis yang telah disampaikan melalui RasulNya (tanpa manipulasi akal semata) sebagai pedoman aktivitas antar manusia (habluminannas). Wallahu a lam.

No comments:

Post a Comment