Thursday 15 November 2012

Menalar Makna Kebenaran Sains


Pernahkah kita meragukan sesuatu ? jawabnya pasti sering.
Tapi pernahkah kita meragukan kebenaran ilmu, khususnya ilmu sosial ?
Mengapa kita tidak pernah mempertanyakan kebenaran sains sosial tsb yang menjadi the state of the art-nya ilmu pendidikan ?
Mengapa kita tidak pernah mempertanyakan mengapa pendidikan itu dikatagorikan ilmu?

Mengapa kita tidak pernah mempertanyakan PLS dan PNFI ? dan mengapa pula kita tidak pernah mencari penjelasan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari persamaan, perbedaan dan kaitan PLS dan PNFI serta term formal, non formal dan informal yang terpisah dari term pendidikan ?

Goedel sendiri sebagai pakar matematik, ingin membuktikan keraguannya atas kebenaran matematika. Walau sayang untuk menguji kebenaran matematik ia malah menggunakan pikiran matematikanya.

Suatu kebenaran tentulah tidak bisa lahir dan dinyatakan begitu saja serta tidak semestinya diterima begitu saja.
Kebenaran harus memperlihatkan konsistensi kebenaran un sich nya, setelah melalui berbagai pengujian dan terutama oleh perangkat, alat, atau kaidah2 metode di luar metode kebenaran itu di temukan.
Dalam kondisi realnya untuk membuktikan kebenaran adanya ular hitam di dalam ruangan gelap gulita tidak hanya dibutuhkan pendengaran tapi juga penglihatan

. Dan fungsi penglihatan normal tidak mungkin dipaksakan untuk berfungsi dalam situasi yang tidak ada cahaya.
Maka untuk menghilangkan keraguan itu, orang beriman tinggal memijit knop off ke posisi on saklar jaringan listrik yang sudah ada lampunya di ruangan tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan yang sudah ada sekarang, dibangun oleh paradigma; rasionalisme, empirisme, netralitas etik dan idiologi, sikap obyektif imparsial, mulai dari aspek parsial disipliner ke holistik interdisipliner, pemisahan antar agama dan sains, sains mulai dari ragu (spekulatif), sains menegakan kebenaran universal, sains berpegang teguh pada azas konsistensi logika, sains berpijak pada azas kejujuran dan keterbukaan, realtivisme dalam arti tidak ada kemutlakan, yang sebenarnya adalah juga kata lain dari kemutlakan kausalitas, kemampuan sains tidak mengenal batas, sehingga sains menurutnya bisa misa mengenal segala aspek kemanusiaan dan bahkan ke Tuhan an.

Maka untuk menghilangkan keraguan kebenaran sains diatas diperlukan pengujian atau dikonfrontir dengan sifat yang dianggap sebaliknya, yaitu;
intuisi spiritual, metaempiris, etika agamawi, sikap obyektif partisipatif, mulai dari aspek holistik ke aspek parsial disipliner, sains mulai dari keyakinan agamawi, sains menegakan verifikasi kebenaran agamawi, azas metalogika, keasadaran agamawi, keunikan yang berpijak pada azas kemutlakan, ritus agamawi.
Sehingga kalapun hasil pengujian tsb tidak menghasilkan suatu bentuk ilmu baru ataupun sintesa, setidak tidaknya menghasilkan kesadaran bahwa ke imanan mengarahkan potensi akal rasional empiris, sebagaimana ruh membuat jasad manusia berfungsi.

Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi sehingga walau akal rasional empirisnya juga tinggi kemungkinannya potensi rasionya tsb tidak lantas bisa mencerabut keyakinan transendennya (keimanan pada hal2 yang gaib) yang nota bene merupakan hal yang paling ditolak oleh ilmu pengetahuan kontemporer mengingat tidak bisa dibuktikan secara empiris.
Maka realitas kebenaran ke Indonesia an tidak lah harus di dekati dan dipahami atau di ukur oleh paradigma/metode sains sekuler yang mengarah sepenuhnya pada materialisme, tetapi akan lebih bijak bila di dekati dengan paradigma yang telah dipaparkan di atas.

Dengan jumlah ilmuwan Indonesia yang cukup banyak sekarang ini, dan otomatis sudah diakui ketajaman dan keajegan logikanya sebagai modal dasar ilmiahnya, sudah saatnya sekarang dalam setiap kegiatan ilmiahnya, para ilmuwan tsb mengembangkan premis premis dari wahyu (kitab suci) yang kemudian hasilnya divalidasi lagi oleh wahyu yang memang diturunkan oleh sang Pencipta kebenaran.
Bila cara itu ditempuh maka grand teori, midle range theory dan teori praksisnya selain bersifat universal juga akan berdaya praksis dalam menunujukan jalan keluar yang haq bagi semua permasalahan yang terjadi di Nusantara.

Sistem pendidikan Indonesia menjadi tidak saling meniadakan maknanya, malah semakin memperkuat. Pendidikan formal dan pendidikan formal di luar tradisinya (PLS) atau Pendidikan Luar Sekolah yang berpakem pendidikan formal tidak merusak hakekat masyarakat non formal dan informal yang bercorak Ke Indonesia an sebagai warisan bangsa dan basic kefitrahan manusia.
Pendidikan non formal dan informal yang sejatinya menjadi terpisah dari kaidah2 PLS. Pendidikan non formal dan in formal dilakukan dalam rangka mengembalikan hakekat masyarakat non formal dan informal sebagai unit sosial l yang memiliki kemandirian, ketahanan (anti bodi) dalam menghadapi tantangan perubahan.

Esensi pendidikan non formal dan informal menjadi tercapai karena sistem pendidikan formal sudah mampu menghasilkan out put manusia yang beriman dan bertaqwa serta berkemampuan kognitif dan keterampilan tinggi, sehingga menghasilkan kesadaran kemasyarakatan yang tinggi pula.
Artinya keberimanan dan kebertaqwaan itu pada ahirnya akan menjadi pendorong rasa rumasa sebagai abidullah dan sbg manusia yang berasal dari lingkungan masyarakat non formal dan informalnya yang berbuah terwujudnya tanggung jawab untuk menderma baktikan ilmu dan keterampilannya pada masyarakat lingkungan dimana ia tinggal.

Maka bila kondisi ini bisa tercapai, Prinsip pendidikan non formal dan informal yang sebenarnya, yaitu dari masyarakat itu sendiri oleh masyarakat itu sendiri dan untuk masyarakat itu sendiri serta masyarakat tetangganya akan menjadi suatu kenyataan.
Sebagai efek balik positifnya, row input pendidikan formal/persekolahan yang datangnnya dari masyarakat non formal dan informal merupakan sumberdaya2 yang sudah memiliki landasan moral yang cukup memadai sebagai hasil dari imitasi, identifikasi, sugesti, simpati dan empati nilai luhur lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tempat tinggal serta masyarakat luas sehingga siap untuk dikembangkan dengan cara cara formal.

Hanya dengan cara2 dan proses di atas, perubahan apapun dalam segi dan aspek lingkungan alam fisik materi tidak akan berpengaruh negatif pada makna hakekat manusia sebagai mahluk fitrah, malah situasi dan kondisi perubahan lebih mengarah pada konstruk sistem sosial yang membuat fitrah manusia semakin menampakan hakikatnya sebagai mahluk mulia (pemimpin di muka bumi) ciptaan yang Maha Mulia.
Sisitem sosial yang bisa disebut dgn madani ini akan membuat negara menjadi diringankan akan permasalahan ketergantungan warganya, sehingga masyarakat di mata pemerintah sebagai entitas yang berwibawa yang berdampak pada kontrol diri yang tinggi dalam pelaksanaan amanat rakyatnya... Wallahu a lam.

No comments:

Post a Comment