
KRITERIA ILMU PENGETAHUAN
Banyak orang berdiskusi tentang perbedaan antara pengetahuan ilmiah
dan model-model pengetahuan lainnya. Untuk menjawab persoalan tersebut,
tentu saja hakikat ilmu pengetahuan harus lebih dulu dipahami. Persoalan
hakikat ilmiah merupakan masalah yang pertama-tama harus dijelaskan
sebelum mempersoalkan prosedur kerja pengetahuan itu sendiri. Sebab
bukan tidak mungkin sesuatu yang dalam anggapan umum diterima sebagai
‘yang ilmiah’ namun ternyata tidak dapat dikategorikan ilmiah, demikian
pula sebaliknya (Wilardjo, 1999: 59-60).
Ilmu-ilmu lahir sebagai
konsekuensi dari adanya banyak persoalan dalam kehidupan manusia dan
persoalan-persoalan itu diketahui sebagai yang tidak dapat terselesaikan
dalam pengetahuan sehari-hari. Setiap ilmu harus dapat memecahkan
masalah demi mencapai kejelasan serta kebenaran kendati bukan merupakan
suatu kebenaran final (yang mutlak). Kebenaran dan kejelasan yang
disajikan oleh proses ilmiah merupakan jawaban yang selalu terbuka untuk
diuji, diuji kembali dan terus diuji oleh siapapun, dalam batas-batas
yang dimungkinkan oleh prosedur ilmiah itu sendiri (Kebung, 2011: 68).
Seorang filsuf, matematikawan, sekaligus ‘bapak’
rasionalisme-positivis abad XX, Karl Popper, menyatakan bahwa ilmu
senantiasa bertolak dari situasi ketegangan antara dua fenomena.
Fenomena pertama adalah manusia selalu merasa memiliki cukup banyak
pengetahuan. Sementara fenomena kedua adalah manusia seringkali tidak
menyadari bahwa ketidaktahuannya tidak terbatas. Karena itu titik
pangkal setiap pengetahuan adalah problematika kehidupan, dan bukan
pengamatan atau pengumpulan fakta (Taryadi, 1991: 21-37). Karena itulah,
menurut Popper, untuk mendalami suatu hal lebih bermanfaat mempelajari
setiap benturan (tabrakan) opini (pendapat, gagasan) mengenai suatu hal
daripada melakukan pengamatan kesana kemari tetapi tanpa mengetahui akar
persoalannya. Setiap teori, gagasan maupun tindakan, menurut Popper,
harus memberi solusi atas persoalan. Maka karena itulah, sebagai suatu
solusi tentatif (sementara), setiap teori atau gagasan ilmiah harus
dikritik untuk ditemukan kesalahannya (Taryadi, 1991: 118).
Senada
dengan Popper, A.G.M. van Melsen, mengemukakan delapan ciri ilmu
pengetahuan. Kedelapan ciri tersebut adalah (van Melsen, 1985: 65-67):
1. Secara metodis ilmu pengetahuan harus mencapai pemahaman yang
koheren. Hal ini menunjukkan adanya sistem kerja (metode) yang logis.
2. Ilmu harus dihadirkan tanpa pamrih karena terkait dengan tanggungjawab ilmuan.
3. Ilmu harus bersifat universal, kendati simpulan-simpulan tentatifnya hanya dapat diimplementasi secara parsial.
4. Setiap ilmu harus dibimbing oleh obyek tertentu (termasuk manusia).
5. Ilmu harus dapat diuji ataupun diverifikasi oleh setiap peneliti
ilmiah yang terkait dengan core keilmuan dimaksud dan karena itu ilmu
harus bersifat intersubyektif atau harus dapat dikomunikasikan.
6.
Suatu jawaban ilmiah harus pula mengundang jawaban dan penemuan baru
sehingga harus selalu siap untuk menerima persoalan yang makin kompleks.
Hanya karena itulah ilmu menjadi lebih dinamis, progresif (berkembang),
dan selalu berubah.
7. Setiap teori yang mendukung suatu keilmuan harus terbuka untuk dikritik berdasarkan temuan-temuan baru.
8. Ilmu harus dapat diimplementasikan sebagai wujud hubungan timbal balik antara teori dan praktek.
Berdasarkan uraian van Melsen, menjadi jelas apa yang layak disebut
ilmu pengetahuan dan apa yang tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan memilki 3 (tiga) status yang saling
terkait, yakni: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Meminjam istilah
Jujun S. Suriasumantri, ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah
rancangan atau gambar arsitektur setiap ilmu (Suriasumantri, 1992: 33).
Banyak orang berdiskusi tentang perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan model-model pengetahuan lainnya. Untuk menjawab persoalan tersebut, tentu saja hakikat ilmu pengetahuan harus lebih dulu dipahami. Persoalan hakikat ilmiah merupakan masalah yang pertama-tama harus dijelaskan sebelum mempersoalkan prosedur kerja pengetahuan itu sendiri. Sebab bukan tidak mungkin sesuatu yang dalam anggapan umum diterima sebagai ‘yang ilmiah’ namun ternyata tidak dapat dikategorikan ilmiah, demikian pula sebaliknya (Wilardjo, 1999: 59-60).
Ilmu-ilmu lahir sebagai konsekuensi dari adanya banyak persoalan dalam kehidupan manusia dan persoalan-persoalan itu diketahui sebagai yang tidak dapat terselesaikan dalam pengetahuan sehari-hari. Setiap ilmu harus dapat memecahkan masalah demi mencapai kejelasan serta kebenaran kendati bukan merupakan suatu kebenaran final (yang mutlak). Kebenaran dan kejelasan yang disajikan oleh proses ilmiah merupakan jawaban yang selalu terbuka untuk diuji, diuji kembali dan terus diuji oleh siapapun, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh prosedur ilmiah itu sendiri (Kebung, 2011: 68).
Seorang filsuf, matematikawan, sekaligus ‘bapak’ rasionalisme-positivis abad XX, Karl Popper, menyatakan bahwa ilmu senantiasa bertolak dari situasi ketegangan antara dua fenomena. Fenomena pertama adalah manusia selalu merasa memiliki cukup banyak pengetahuan. Sementara fenomena kedua adalah manusia seringkali tidak menyadari bahwa ketidaktahuannya tidak terbatas. Karena itu titik pangkal setiap pengetahuan adalah problematika kehidupan, dan bukan pengamatan atau pengumpulan fakta (Taryadi, 1991: 21-37). Karena itulah, menurut Popper, untuk mendalami suatu hal lebih bermanfaat mempelajari setiap benturan (tabrakan) opini (pendapat, gagasan) mengenai suatu hal daripada melakukan pengamatan kesana kemari tetapi tanpa mengetahui akar persoalannya. Setiap teori, gagasan maupun tindakan, menurut Popper, harus memberi solusi atas persoalan. Maka karena itulah, sebagai suatu solusi tentatif (sementara), setiap teori atau gagasan ilmiah harus dikritik untuk ditemukan kesalahannya (Taryadi, 1991: 118).
Senada dengan Popper, A.G.M. van Melsen, mengemukakan delapan ciri ilmu pengetahuan. Kedelapan ciri tersebut adalah (van Melsen, 1985: 65-67):
1. Secara metodis ilmu pengetahuan harus mencapai pemahaman yang koheren. Hal ini menunjukkan adanya sistem kerja (metode) yang logis.
2. Ilmu harus dihadirkan tanpa pamrih karena terkait dengan tanggungjawab ilmuan.
3. Ilmu harus bersifat universal, kendati simpulan-simpulan tentatifnya hanya dapat diimplementasi secara parsial.
4. Setiap ilmu harus dibimbing oleh obyek tertentu (termasuk manusia).
5. Ilmu harus dapat diuji ataupun diverifikasi oleh setiap peneliti ilmiah yang terkait dengan core keilmuan dimaksud dan karena itu ilmu harus bersifat intersubyektif atau harus dapat dikomunikasikan.
6. Suatu jawaban ilmiah harus pula mengundang jawaban dan penemuan baru sehingga harus selalu siap untuk menerima persoalan yang makin kompleks. Hanya karena itulah ilmu menjadi lebih dinamis, progresif (berkembang), dan selalu berubah.
7. Setiap teori yang mendukung suatu keilmuan harus terbuka untuk dikritik berdasarkan temuan-temuan baru.
8. Ilmu harus dapat diimplementasikan sebagai wujud hubungan timbal balik antara teori dan praktek.
Berdasarkan uraian van Melsen, menjadi jelas apa yang layak disebut ilmu pengetahuan dan apa yang tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memilki 3 (tiga) status yang saling terkait, yakni: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Meminjam istilah Jujun S. Suriasumantri, ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah rancangan atau gambar arsitektur setiap ilmu (Suriasumantri, 1992: 33).
No comments:
Post a Comment