Thursday 15 November 2012

MEMAKNAI KEFITRAHAN MANUSIA


Merujuk pada keterangan kitab suci, ruh adalah dzat yg hidup diberbagai alam (alam ruh, alam rahim, alam ahirat). Ketika ruh masih di alam ruh, ia sudah berjanji dihadapan Tuhannya bahwa Allah adalah Tuhannya dan Tuhan dari segala mahluk.
Dengan peristiwa perjanjian primordial ruh dangan Tuhannya, bisa ditafsirkan sebagai hubungan yang intimasi, dimana ruh memiliki kedekatan dengan Tuhannya, dan hal ini berimplikasi menghasilkan persepsi bahwa Ruh merupakan sesuatu yang istimewa dan di istimewakan Allah. Persepsi lain yang bisa timbul dari kedekatan antara ruh dan Tuhannya adalah bahwa ruh itu suci sehingga bisa berhadapan langsung dengan Tuhan yang maha suci. Kesucian dan keistimewaan ruh terlihat juga dari rujukan keterangan pada peristiwa penyatuan ruh pada raga manusia, dimana ruh dihembuskan langsung oleh Allah, disamping keterangan lainnya yang lebih memperkuat bahwa hanya Allah lah yang mengetahui alam ruh.

Maka bisa dimengerti dan diimani bila ruh, sebagaimana keterangan kitab suci hanya sedikit diketahui manusia.


Sintesanya RUH ADALAH ENTITAS YG SUCI YANG MENGETAHUI DAN MENGENALI ALLAH yang TRANSENDEN dan ALAM TRANSENDEN LAINNYA, dan TERJAGA DARI INTERVENSI ATAU GODAAN NAFSU, SYETAN DAN IBLIS.
Sehubungan ruh terbebas dari godaan apapun, hal ini mengisyaratkan bahwa ruh tidak akan ingkar dari komitmen iman nya pada Allah selamanya, termasuk sewaktu hidup di fase dunia.
Dengan demikian pula ruh adalah mengetahui jalan2 yang hak di berbagai fase kehidupan dan akan tetap selamanya berpaling pada jalan2 yang haq tersebut.
Dan perlu juga ditekankan untuk lebih memperkuat pemahaman, bahwa ruh sebagai entitas non empiris selagi di dunia empiris tidak bisa dikenali oleh pancaindra dan akal manusia walau dengan alat bantu apapun. Adapun pengenalan manusia pada ruhnya terjadi melalui sistem kepercayaan/iman yang ditimbulkan sebagai eksistensi fungsi ruh itu sendiri yang memberi sinyal pada kesadaran pada manusia manakala manusia dihadapkan pada fenomena kematian sesamanya.

Maka dengan demikian jika manusia berperilaku tidak suci, atau prilaku yang dikatagorikan oleh manusia sendiri sebagai perbuatan merusak lainnya dan diistilahkan dalam ajaran agama sebagai sikap tindak melampaui batas, fenomena ini diyakini bukan timbul dari eksistensi fungsi ruh yang suci. Justru ruh inilah yang membuat dan mempertahankan ke fitrahan manusia. Artinya ruh selalu mempertahankan agar manusia tidak terpengaruh/tergoda/terkuasai oleh mahluk lainnya spt, syetan, iblis, akal artifisial, hasil2 artifisial (ilmu artifisial, materi, kekuasaan, kedudukan dan segala sesuatu yang terwujud karena hasil akal belaka).
Keinginan ruh hanya berserah diri pada khaliknya. Mengajak raga/pancaindra/akal pikiran untuk meyakini keberadaannya itu ciptaan dan dari Allah, dan dalam perilakunya berpedoman pada wahyu Allah, serta dalam seluruh sikap dan tindaknya selalu berorientasi mendapatkan ridho Allah.
Karena ruh pernah merasakan kehidupan alam ruh yang sempurna membuat ia tidak tertarik dengan ke empirisan kehidupan dunia dgn segala sesuatunya. Hal ini mengindikasikan bahwa kenikmatan hidup dunia fana nilainya jauh sangat rendah dibanding dengan nilai kenikmatan hidup di alam sempurna yang pernah dialaminya.
Eksistensi ruh di alam dunia melulu terproyeksi dari sinyal sinyal yang menembus rasa akan kesederajatan dgn ruh2 manusia lainnya yang terwujud dengan eksistensi kasih sayang diantara sesamanya sebagaimana pengalaman kebersamaan pada saat di alam ruh.

RAGA berdasarkan keterangan wahyu tertulis merupakan wujud yang dicipta Allah dari dzat2 yang ada di alam dunia yang bersipat empirik. Komponen raga luaran maupun dalaman seluruhnya adalah empiris, termasuk otak dan pancaindra. Otak berfungsi menjadikan akal berkonten pengetahuan karena hasil sinergi dengan pancaindra.
Bila pancaindra pd masa di alam rahim belum berfungsi, hal inilah penyebab manusia tidak mengetahui/menyadari/ memiliki pengalaman di alam rahim barang sedikitpun.
Pancaindra indra yang terbuat dari bahan2 empiris hanya mampu mencerap hal2 yang empiris juga. Maka ilmu pengetahuan sebagai hasil senergitas antara otak dgn pancaindra inipun hanya berisi pengetahuan2 yang bersifat empiris pula.
Mengingat sudah sunatullahnya raga harus mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai rambatan masa sebagai sebab proses melampaui kefanaan dunia , maka konsekwensi logisnya raga membutuhkan sesuatu yang bisa memenuhi tuntutan diatas. Sesuatu yang dibutuhkan dalam keharusan pertumbuhan dan perkembangan raga inilah kemudian yg oleh akal manusia disebut energi.
Energi yang dibutuhkan ini pun bukan sesuatu yang non empiris, artinya energi inipun sesuatu yg empiris yg ada dan tersedia di dunia empiris.
Interaksi antara raga dan pemenuhan energi kemudian ditenggarai menjadikan kehidupan manusia memiliki dinamika.

Dengan akalnya, raga mengetahui bahwa kekurangan energi adalah sesuatu hal yang membuat ia akan lemah, sebaliknya bila tidak dipenuhi akan menyebabkan rasa sakit dimana pada tahap awalnya ia akan kehilangan kemampuan beraktivitas bahkan akan kehilangan gerak terahirnya, yaitu kematian.
Kondisi kekurangan energi kemudian dimaknai akal sebagai hal yang TIDAK ENAK, tidak nyaman, menyakitkan dan menjadi sesuatu yang ditolak atau dihindari raga.
Karena manusia hidup dengan manusia lainnya dan memiliki pengalaman yang sama tentang makna kekurangan energi yang menyebabkan rasa tidak enak tersebut, melalui interkasi sosial berimplikasi pada lahirnya kesadaran umum akan perlunya akal untuk berpikir yg kemudian prosesnya menghasilkan sesuatu dgn apa yg kemudian disebut strategi mengumpulkan cadangan energi.
Ketercukupan energi untuk bekal merambah beberapa waktu kedepan pada gilirannya menghadirkan suatu bentuk rasa yg dikonsepsikan sbg ketenangan dan kenyamanan sementara yang diterima dan didambakan raga.

Ketenangan dan kenyamanan sementara , diterjemahkan oleh akal sebagai sesuatu yang harus dipertahankan bahkan lebih dari itu perlu ditingkatkan. Strategi yang lebih canggih dari strategi sebelumnya menjadi kemutlakan yang sangat dibutuhkan dan mustahil dielakan demi penguasaan cadangan energi yang lebih banyak lagi, malah kalau bisa mampu mencukupi kebutuhan energi sepanjang hidupnya dan bersisa melimpah sebagai warisan kemewahan bagi generasi yang berada langsung di garis keturunannya.
Mengingat setiap orang memiliki pengalaman dan kesadaran yang sama tentang masalah kebutuhan energi beserta strategi/siasat penguasaan cadangannya, dan dihadapkan juga pada realitas bahwa energi menurut persepsi manusia sifatnya terbatas, maka proses memperebutkan energi yang terbatas dalam bentuk kompetisi bahkan konflik sebagai sesuatu yang ditolak oleh kefitrahan manusia sehubungan dengan akibat negatif kemanusiaan satu paket di dalamnya, bukan hanya akan didapatkan oleh manusia yang kalah saja tetapi juga diterima oleh manusia yang dikatagorikan sebagai pemenang. Bagi yang kalah berkompetisi dan berkonflik rasa cemas sebagai akibat tidak terpenuhinya harapan mendapatkan cadangan energi berakumulasi dengan rasa menyakitkan lainnya, seperti menyesali diri akan kekurang canggihan strateginya, sakit hati karena tidak menerima kekalahannya yang bisa jadi timbul dari prejudis telah terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pihak rival/ saingan atau bahkan musuhnya.

Adapun bagi pihak yang menang kompetisi/konflik perebutan penguasaan energi walau mendapatkan imbalan rasa senang, namun rasa itu sifatnya hanya sementara. Dinamika perkembangan yang terjadi dalam sistem sosialnya sebagai sebab perkembangan dari proses semakin canggihnya strategi memperebutkan energi besarta cadangannya, kemudian menjadi faktor ketidak tenangan si pemenang sementara . Kecemasan ketertinggalan strategi kemudian menjadikan dirinya sebagai mahluk yang diperbudak oleh waktu, rasa ketidak puasan yang bertingkat, rasa ingin mengetahui kelemahan dan kelebihan orang lain sebagai data mutlak untuk mengetahui seberapa canggih strategi orang lain yg dipersepsikan sebagai pesaing skaligus musuhnya, dan juga rasa curiga yang berlebihan akibat ketakutan strateginya sendiri diketahui oleh antek2 pesaingnnya yang suatu saat dipergunakan sebagai alat mengkonter atau melemahkan staregi andalannya dalam proses persaingan oleh musuhnya.

Dari paparan raga di atas dapat disintesakan, bahwa raga hanya tergerak pada aktifitas memenuhi kebutuhan empirisnya. Motif ini sebagai mekanisme manusia dalam mempertahankan eksistensinya di muka bumi.
Menurut raga kehidupan didunia walaupun fluktuatif sangatlah mengasyikan dan perlu dipertahankan agar bisa terhindar dari ketidak enakan bahkan kalau bisa terhindar dari kematian yang menjadi hal menakutkan yang menghantui selama hidupnya.
Raga (akal/pancaindra) tidak memahami/memiliki kesadaran transenden spt ruh, karena memang ia epimiris un sich, mengingat juga ia tidak memiliki pengalaman hidup di dunia transenden.
Adapun ketakutan hebat pada kematian yang menghantui terus selama hidupnya inilah yang kemudian mendorong secara kuat manusia melakukan evorlap kemampuan akalnya.
Akal yang kodratnya empiris dipaksa untuk memahami sesuatu yang diluar jangkauan kognitifnya/kesadarannya. Akal yang kodratnya hanya mampu memahami hal2 empiris demi menjaga dan hanya untuk mengurusi kelangsungan dan perkembangan serta pertumbuhan raganya saja kemudian dipaksakan oleh pemiliknya untuk mengetahui rahasiah kematian, dengan harapan kalau sudah diketahui rahasiahnya, kematian bisa dihindari, atau minimalnya bisa mengurangi kengerian kematian yg belum pernah dialaminya tersebut.

Inilah makna dari kekacauan fenomena manusia dengan akalnya, yang menjadi penyebab rancunya tatanan kehidupan dunia spt yang sekarang ini terjadi.
Dengan akalnya manusia menjelajah dunia empiris melalui kemampuan mempersepsi, mengkonsepsi, mendeduksinya, dan temuan2 teknik praktisnya yang menjadi sebab ditemukannya sesuatu yang disebut teknologi. Atas dasar penemuan teknologi yang mempermudah manusia mendapatkan kesenangan ragawi tersebut kemudian membuat manusia menjadi lebih percaya diri yang berlebih lebihan (melampaui batas), sehingga progersifitas akalnya menghasilkan hipotesa bahkan sekarang sudah dianggap tesis karena tingkat kepercayaan manusia di bumi kepadanya sudah hampir mendekati seratus persen. Tesis tersebut adalah, manusia mahluk empiris karena memiliki raga empiris yang mampu hidup di dunia empiris sebagaimana sifat empiris benda alam fisik materi sehingga sikap dan perilaku manusia dapat dipelajari dengan menggunakan metodologi yang sama seperti metodologi ilmu alam yang menghasilkan teknologi. Tidak heran apabila sekarang dalam ilmu2 sosial ditemukan istilah teknologi, seperti diantaranya di dunia pendidikan dikenal dengan istilah teknologi pendidikan.
Yang lebih hebatnya lagi kepercayaan diri yang luar biasa, mendrong manusia dengan kemampuan akal pikirannya merambahkan ranah transenden tanpa dilandasi oleh wakyu tertulis yang haq, dimana yang menjadi fokus utamanya adalah memahami causa prima sang penyebab kehidupan dan kebenaran. Hipotesis yang menjadi acuannya adalah bahwa dengan memahami sang causa prima rahasiah kehidupan bisa diketahui, dipahami dan kehidupan pada ahirnya bisa dikuasai.

Melalui proposisi proposisi yang diungkapkannya sebagai hasil proses mempelajari Tuhan secara spekulatif tersebut, terlihat jelas bahwa kemudian manusia terjebak pada pemikirannya sendiri tanpa mampu keluar dari sifat kodrat keempirasannya. Tuhan dalam pemikirannya dipersepsikan dan dikonsepsikan tidak jauh dengan sifat manusia. Ke Mahaan Tuhan di artikan sebagai kekuatan super manusia yang tidak dimiliki oleh manusia itu sendiri. Maha Kasih sayang diterjemahkan sebagai kekuatan kasih sayang manusia yang menempatkan manusia sebagai sentral kehidupan manusia.
Tuhan dipersonifikasikan. Tuhan jadi seperti manusia super belaka . Dari cara berpikir dan kepercayaan diri manusia yang berlebihan tersebut tidak aneh bila kemudian Timbulah kalimat yang lahir dari pemikiran dan sikap absurd, snob; ".. Tuhan telah mati, karena kami telah membunuhnya..."

Pada perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu mempercayai akal pikirannya tersebut, akal kemudian menutupi ruang untuk ruh bereksistensi dalam berserah diri pada Tuhannya. Raga lebih berpaling pada perintah akal yang empiris dibanding dari bisikan lembut ruh sucinya yang transenden, tidak terlihat, tidak berwujud empiris dan tidak terukur . Eksisitensi ruh menjadi tidak mampu terimplementasikan dalam tingkah laku manusia, karena kalah oleh argumen akal bahwa SEGALA SESUATU YANG TIDAK DAPAT DIPIKIRKAN TIDAK NYATA, yang berkonotasi bahwa sesuatu yang tidak empiris tidak ada gunanya.
Akal kemudian hanya mempersiapkan raga belaka, kesadaran akan kematiannya disamping menimbulkan ekses overlap malah juga menghasilkan aji mumpung. Mumpung masih hidup di dunia, mumpung masih terbuka segala kesempatan untuk mereguk kenikmatan dunia, mumpung memiliki kebebasan untuk berpikir apapun dan kebebasan dalam merealisasikan pikirannya itu demi untuk mampu lebih banyak lagi mendapatkan kenikmatan dunia materi.
Turunan dari overlap akal dan aji mumpung sbg praksis adalah kondisi dehumanisasi dan denaturalisasi yang dapat dirasakannya sendiri secara empiris, dengan disertai kecemasan, keresahan, dan ketakutan yg lebih besar sebagai rasa yg tersembunyi dari akal.
Namun demikian raga tetap memiliki keyakinan bahwa suatu saat perkembangan akal pikirannya akan mampu mengatasi seluruh permasalahan yang terjadi. Walau kemudian setelah ratusan tahun manusia mempraktekan ilmunya, anggapan tersebut hanyalah bersifat utopia belaka, seolah mengejar fatamorgana. Dehumanisasi malah semakin menjadi jadi, kerusakan lingkungan alam semakin sulit untuk diatasi.
Akal tidak menyadari bahwa entitas dalam dirinya yang seharusnya sangat perlu dibekali cadangan yang lebih banyak dengan cara diberi ruang yang proporsional untuk eksisitensinya di dunia empiris adalah ruh, sebab ia selain hidup didunia untuk memberi nilai bobot kehidupan yang haq juga akan meneruskan kehidupannya di alam akhirat yang abadi. Bukan raga yang akan busuk dan terurai kembali menjadi zat asalinya manakala sudah ditinggalkan oleh ruh.

Fitrahnya kehidupan dunia adalah konstruk sosial yang terwujud dari hasil bagi ruang eksisitensi antara ruh dan raga secara seimbang. Potensi Iman melandasi hubungan manusia dgn Tuhan dan menjadi landasan hubungan dgn sesama manusia, dan potensi akal melandasi kemampuan manusia dalam memahami alam materi yang berguna untuk mengetahui rahasiah2nya demi maksud mengeksplorasi dan eksploitasi energi yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan dunia fana sesaat.
Dengan kondisi seperti itu, manusia akan terjaga kefitrahannya. Akal atau kesadaran merupakan alat iman dalam menggerakan raga seutuhnya (ruh menuntun kebenaran perjalanan haq fase kehidupan dunia) dalam berserah diri pada Allah. Akal hanya memperkuat raga untuk habluminanas yang diproyeksikan untuk kerangka hablumminallah. Atau Habluminallah menjadi pondasi segi atau aspek habluminanas.
Dalam kondisi kehidupan fitrah ini nilai kemanusia lebih tinggi dibanding dengan nilai2 artifisial ( sesuatu hasil rekayasa akal manusia). Dalam kehidupan ini pula kasih sayang akan terwujud dan mampu mewujudkan terkondisinya tata kehidupan yang adil dalam seluruh aspeknya, sehubungan manusia memandang hal2 artifisial sbg alat hidup, bukan sebagai tujuan kehidupan.
Dalam berbagai aktivitasnya (dr mulai bangun tidur sampai dlm keadaan tidurnya) manusia didorong oleh keinginan mendapatkan rido Allah semata, sehingga kefitrahan yang laten yang tak mungkin mampu terlacak dan terwujudkan oleh akal semata dalam perjalanannya akan termanifestasikan dengan sendirinya atas ridho Tuhan.
Manusia hidup dalam kemuliaan yg menjadi haknya, dan dengan kemuliaannya tersebut manusia mampu menjalani kehidupan fitrahnya yg equivalen dgn kemampuan menunaikan hak kemuliaan manusia lainnya.
Wallahu alam.

No comments:

Post a Comment