Thursday 15 November 2012

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN


Apa iya anak usia balita harus dididik di lembaga formal...bukankah masa itu seorang balita milik lembaga in formal...?
Apakah harus seorang anak balita di didik oleh orang dewasa yang bukan kluarga dekatnya yg tidak memahami nilai2 yang dianut kluarganya hanya demi untuk mengembangkan kognitif atau intelektualnya....?
Apakah memang potensi intelektual/kognitif/rasional empiris lebih penting di banding potensi naqli...?
Apakah wajar bila usia balita sudah diperkenalkan pada dunia formal (Gemeinschaft) yang nyata2nya dibentuk untuk mengejar pamrih dunia...?

Ada baiknya orang Indonesia yang sudah merasa dewasa, atau walau masih dalam katagori dewasa umur belum masuk pada katagori dewasa secara mental iman pun, untuk memikirkan secara arif tentang bagaimana pendidikan yang baik dan benar menurut kebenaran wahyu untuk anak, khususnya balita. John Lock pernah mengutarakan proposisi analitik spekulatifnya (apriori), bahwa anak itu adalah tabularasa, bagaikan kertas putih.Bila ditulisi dgn tinta merah, tulisan merah lah jadinya.
Menurut hemat saya, analogi John Lock di atas tidak bisa dianggap tepat sepenuhnya, sebab apa yang dimaksud dgn putih, adalah fitrah yang tidak bisa direkayasa/manipulasi oleh manusia. Artinya dia akan tetap selamanya putih. Adapun yang dipengaruhi

warna dan tulisan yg dimaksud di atas menurut saya adalah akal pikiran manusia yang berfungsi dari hasil pencerapan fenomena2 empiris melalui panca indranya. Jadi fenomena2 empiris disini berlaku sebagaimana yang dianalogikan warna dan bentuk tulisan menurut John Lock.

Esensi utama Yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan pendidikan adalah, bagaimana anak sebagai manusia fitrah dalam proses pendidikannya tidak dihalangi atau ditutup sama sekali kefitrahnnya, malah dalam proses pembimbingan untuk mengembangkan potensi unique lahiriahnya harus juga sebagai wahana atau media membuka selebar-lebarnya/ seoptimal optimalnya fitrah manusia sebagai mahluk yang BERSERAH DIRI pada Tuhannya.
Kefitrahan manusia yang bersifat transenden tidak bisa dikembangkan dengan upaya rasional empiris yang hanya mampu merekayasa hal2 yang bersifat material empiris saja.
Kefitrahan manusia tidak memerlukan campur tangan manusia lainnya, ia sudah ada dan di bawa sejak lahir. Kefitrahan sudah tertanam sejak manusia ada di alam ruh (perjanjian primordial ruh dgn Tuhannya).

Pendidikan jangan diartikan sebagai proses sadar orang dewasa yang diorganisasikan untuk mengembangkan kefitrahan seorang manusia. Pendidikan hanya diberikan kewenangan untuk mengembangkan potensi akal pikiran manusia yang berguna dalam merekayasa alam fisik materi, itupun seteleh seorang anak betul betul mengimani Tuhannya yang transenden/metaempiris. Mengimani hal-hal yang gaib spt, manusia harus berusaha ikhlas karena rizki ada di Tangan Allah, adanya surga dan neraka, qodo dan qodar, hari kiamat, adanya aherat, adanya ridho Allah, adanya malaikat dan setan dlsb.

Jangan sampai terjadi seorang anak lebih dahulu berkembang nalarnya di banding imannya. Seharusnya Iman pada Tuhannya lah yg memimpin akalnya atau iman mengarahkan akal.
Bila seorang anak nalarnya mendahului imannya, maka ia berkecenderungan hanya mempercayai hal2 yang sifatnya materi empirik yg dikenalinya dgn hanya melalui akal rasional empiris dgn mengesampingkan hal2 gaib transendental. Sehingga anak tersebut akan memiliki kemungkinan dia hanya mau tunduk dan dipengaruhi serta mencari hal2 yang bersifat empirik terindra belaka sebagai motif dan tujuan hidupnya. Anak tersebut berpotensi tidak akan mengadopsi nilai2 etik absolut. Dia hanya akan mengadopsi nilai etik yg relatif hasil ciptaan akal rasional empiris manusia yang equivalen dengan nafsunya.
Kalaupun dia beragama, dia berkemungkinan besar hanya akan memandang agama sebagai hal yang sifatnya sangat pribadi, bukan sesuatu yang mengatur seluruh aktifitas hidupnya, malah mungkin agama hanya dijadikan atribut untuk mengikatkan dia dengan komunitas sosialnya supaya dia tidak diasingkan dari kelompoknya.
Agama dalam pikirannya hanya merupakan keharusan bukan kebutuhan. Aktivitas agama yang dilakukannya hanya menyentuh kesan ritual mistis semata, kalaupun ia sedikit mempercayainya ia jadikan ibadah itu sebagai ajang bargaining untuk menggolkan kehendaknya sendiri tanpa menyerahkan pada kehendak Tuhannya yang lebih maha mengetahui yang terbaik bagi dirinya. Atau dalam pengertian lain yang tendensius, sholat hanya untuk ditukar dgn surga atau dgn hal2 yang dipersepsikan sebagai kebahagiaan/kesenangan dunia.

Yang dimaksud dengan pendidikan sebagai wahana/media yang membuka selebar lebarnya memancarnya fitrah manusia adalah Utamanya proses mendidik manusia terletak pada bagaimana sistem perilaku orang2 dewasa yg ada dan bisa diindra oleh seorang anak betul2 bertindak real menjalankan aturan agamanya tanpa dipilih pilih. Tindakan agamawi yang terlihat dari body language orang2 dewasa yang ada disekeliling anak tersebut inilah kemudian yang akan jadi bahan untuk diimitasi (ditiru), diidentifikasi (menyamakan dirinya), disugesti ( mempengaruhi dirinya), ahirnya timbul simpati ( merasakan perasaan yg sama dgn manusia lainnya) dan emphati ( menyerap sampai lahir bhatin hal2 yang menjadi situasi dan kondisi lahir bhatin orang2 sekelilingnnya).

Kesatuan Tekad Ucap Lampah agamawi yang diperlihatkan oleh seluruh orang dewasa yang ada disekeliling anak merupakan situasi pendidikan real yang harus ada, tidak bisa digantikan oleh sikap dan tindak kepura2an/ kamuplase/artifisial org dewasa untuk menghadirkan kesan baik sementara pada anak.
Kalaupun kepura puraan diatas bisa dihadirkan didepan si anak dgn maksud untuk dicontoh, suatu saat bila kesadaran mendidik dari orang dewasa tsb tidak hadir pada dirinya (pendidik) atau tidak bisa dipertahankan atau karena anak melihat fenomena sosial lebih luas, spt media elektronik cetak, dan karena kepura2an akan sulit dipertahankan selamanya, maka keaslian sikap yg sebenarnya dari orang dewasa tersebut juga akan mengakar dalam diri si anak (internalized). Anak akan terbiasa berpura2, yang pada ahirnya akan terbentuk suatu sikap mental hipocryte (munafik). Dia hanya akan berusaha baik bila dihadapan orang, atau demi untuk mencapai sesuatu yang bersifat empiris dan artifisial yang diinginkannnya (kekayaan materi). Si anak hanya takut atau respek pada orang dewasa saja dan kelak bila dia sudah dewasa diapun hanya akan takut dan respek pada orang yg posisi tawarnya ada diatasnya, tidak takut pada Tuhannya yang tidak kelihatan, yg tidak pernah memberikan siksaan fisik ataupun memberikan hadiah menurut pengalaman empiris artifisialnya.

Kepura puraan agamawi atau ketidak ikhlasan orang dewasa inilah yang kemudian menjadi faktor yang menutup kefitrahan manusia sehingga menjadikan upaya susah payah proses pendidikan yang dirancang dan dipikirkan oleh akal rasional empiris semata tidak akan pernah mencapai tujuannya, yaitu terwujudnya manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah SWT, yang sebenarnya kondisi ber iman dan bertaqwa pada Allah SWT sebagai bentuk kepandaian manusia yang sebanar benarnya.
Sistem sosial yang didalamnya terbentuk dari orang2 Yang ber iman dan ber taqwa akan memiliki sistem sosial yang efisien dimana dalam pendistribusian hak dan kewajiban akan berjalan adil karena kontrolnya di percayakan pada Allah Sang Maha perkasa yang tidak pernah tidur sehingga sistem pengawasan oleh manusia yang memboroskan biaya yang berdampak pada tidak meratanya kesejahteraan manusia bisa terhindarkan.

JADI PENDIDIKAN ADALAH UPAYA MANUSIA UNTUK MEMBUKA SELEBAR LEBARNYA CAHAYA FITRAH MANUSIA BERBARENGAN DENGAN PROSES MENGEMBANGKAN POTENSI UNIK LAHIRIAH MASING2 MANUSIA SECARA OPTIMAL, YANG BER OUT PUT MANUSIA YANG BER IMAN DAN BER TAQWA PADA ALLAH SWT DIMANA DALAM KEHIDUPANNYA AKAL SENANTIASA DIARAHKAN OLEH IMAN.
Wallahu a lam... (Graha ViMoBORA Parongpong)

No comments:

Post a Comment