Thursday 15 November 2012

Dari Kehidupan Fitrah Menuju ke Kehidupan Artifisial (semu) dan Kembali Ke Kehidupan Fitrah


Manusia lahir fitrah, karena adanya kasih sayang yang mendasari ikatan hubungan diantara kedua orang tuanya, dan kemudian atas dasar kasih sayang itu, anak menjadi terlindungi keamananannya, kesehatannya, dan tercukupi kebutuhan fisiologis dan psikologisnya sehingga ia menjadi bekal sbg manusia yg eksis di tengah kehidupan masyarakatnya...
Kasih sayang sbg entitas fitrah yang manifes dan terimplementasikan dalam kehidupan keluarga menjadi metode atau mekanisme alami yang mendasar penyebab seseorang bisa bertahan dan melangsungkan hajat hidupnya.

Masyarakat yang sudah ada sewaktu seseorang dilahirkan, keberadaannya juga karena mekanisme kasih sayang tanpa pamrih dari keluarga keluarga pembentuknya ( masyarakat terbentuk dari keluarga2).
Dengan fungsi kasih sayang yang ada dalam masyarakat kehidupan seseorang menjadi tercukupi kebutuhan hidup lainnya.


Di dalamnya seseorang bisa lebih memiliki pengetahuan, keterampilan, pengakuan, pengawasan, perlindungan keamanan jasmani maupun rohaninya, yang pada ahirnya menimbulkan saling membutuhkan satu sama lain diantra anggotnya yang terwujud dalam sistem RASA RUMASA.

Pada hal lain, ketika manusia dilahirkan dalam keluarga yang ada di dalam lingkungan masyarakat, ia pun berada di lingkungan bumi yang melingkupi seluruh hidup dan kehidupannya. Dan dari kasih sayang bumi manusia mendapatkan kebutuhan dalam bentuk lain yang melengkapi seluruh kebutuhan yang dibutuhkannya sebagi manusia utuh.
Bumi sebagai salah satu planet di sistem tata surya, keberadaannya juga sangat ditentukan oleh hal2 lain yg membentuk makrokosmos (jagat raya). Kontribusi fungsi atmosfir, matahari, bulan dan planet2 lainnya sulitlah untuk tidak dikatakan sebagai bentuk kasih sayang mereka pada bumi dan kehidupan yang terjadi di dalam maupun permukaannya, termasuk manusia.

Dari kehidupan yang terjadi di lingkungan terkecil yaitu keluarga sampai lingkungan yang terbesar yaitu makrokosmos dapatlah diketahui penyebabnya yaitu KASIH SAYANG. Maka dengan demikian pula atas kemampuan silogisme, inferensi (induktif dan deduktif) yang bersumber pada potensi akal, menghantarkan manusia pada suatu kesadaran (thesis) bahwa makrokosmospun ada pasti karena kasih sayang dari sesuatu yang Maha.

Namun entah kenapa kesadaran akal tertinggi (akal murni) itu kemudian sulit dipertahankan setelah dalam proses progresipnya akal menemukan sesuatu yang disebut ILMU ATAU SAINS.
Dengan ilmu tersebut, dunia yang merupakan hak seluruh mahluk kemudian di monopoli oleh spesies manusia, dan anehnya lagi bila memang kondisi demikian itu sudah seharusnya terjadi, dimana manusia akan lebih mementingkan spesiesnya sendiri dan menganggap bahwa non manusia sbg out group, tetapi mengapa diantara mereka sendiri, manusia tidak saling berbagi dalam prinsip kasih sayang atas hasil dominasi bumi.
Perlakuan memonopoli dan mendominasi bahkan mengeksploitasi yang dilakukan oleh manusia pada mahluk non manusia dilakukan juga pada sesama jenisnya sendiri (spesiesnya sendiri).
Sehingga terjadinya fenomena petani sang penghasil bahan makanan yang paling dibutuhkan oleh manusia karena menyangkut hidup dan matinya manusia tidak lebih sejahtera dibanding dengan mereka yang membutuhkannya.
Bukankah menurut hukum ekonomi, barang yang menyangkut kebutuhan hidup mati manusia akan bernilai ekonomi tinggi dan berdampak pada kesejahteraan pemilik barangnya?
Apakah karena para petani masih berpegang teguh dan mengamalkan kasih sayang sehingga tidak terpikir sedikitpun untuk membuat strategi barang yang vital bagi kehidupan manusia itu kemudian di timbun dan hanya dikonsumsi sendiri tidak dijual kepada umum, spt strategi2 yang lahir dari kebanyakan orang yang memiliki ilmu (sains) untuk mendapatkan keuntungan besar materi semata untuk dirinya sendiri...
Siapakah yang akan lebih unggul dan siapa yang lebih rugi dalam kesejahteraannya bila petani juga meninggalkan kasih sayang sosialnya (ilmu fitrah) dan menjadikan ilmu atau sains (ilmu artifisial/semu) sebagai pedoman teknis perilakunya...???
Bukankah seharusnya ilmu atau sains itu lebih meningkatkan makna kasih sayang diantara manusia (keluarga, masyarakat dan komunitas dunia)?
Bukankah juga seharusnya ilmu atau sains itu menempatkan manusia secara keseluruhan (spesiesnya) sebagai tolok ukur dari segala aktifitas dan utilitasnya.

Bukankah bumi dan seisinya yang telah memberikan kasih sayang pada manusia, dibalas juga oleh manusia dengan kasih sayang melalui ilmu atau sainnya itu? sehingga seharusnya dengan ilmu hasil manipulasi (rekayasa) akalnya tersebut, manusia bukan saja memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengambil, merasakan dan menikmati kasih sayang bumi tetapi juga dan terutama kemampuan bagaimana memelihara bumi, yang berarti juga memperpanjang dan memperbesar kasih sayang bumi untuk manusia.

Sekali manusia mengklaim ilmu sebagai hasil akalnya belaka itu adalah kebenaran sehingga dijadikan pedoman hidupnya, seketika itu juga jalan hidup fitrahwi menjadi jalan kebalikannya. Manusia senantiasa akan terpenjara dalam obsesi ilmunya secara sukarela dan masuk kedalam kehidupan artifisial yang membutuhkan hal2 artifisial sebagai konsekwensi logisnya. Sesuatu yang bersifat fitrah ditolak karena bertentangan dengan prinsip prinsip artifisial.
Kehidupan artifisial memiliki konsep kebahagiaan yang sangat berbeda dengan arti kebahagiaan dalam makna hidup fitrahwi. Kebahagiaan menurut kehidupan artifisial adalah penguasaan sesuatu yang artifisial melalui jalan kompetisi atau konflik dengan strategi yang dikemas oleh kemampuan akal sedemikian rupa (jalan artifisial) , dimana semakin bisa menguasai sesuatu yang bernilai artifisial dan menjadikan sesuatu itu langka serta tidak menjadi masalah walau akibat yang ditimbulkannya menyebabkan kerugian pada fihak lain,baik individu, masyarakat bahkan lingkungan alam.
Bagi kehidupan artifisial sesuatu yang mengandung tingkat artifisial tinggi memiliki nilai tinggi. Kasih sayang, kejujuran, keadilan, ketentraman, yang menjadi tuntutan kalbu orang yang hidup dalam kehidupan artifisial menjadi hal lain yang sangat mengganggu kehidupannya yang bila semakin diabaikan malah semakin menunut pemenuhannya. Tetapi semakin mereka pikirkan dan diusahakan dengan cara-cara atau jalan-jalan artifisial, hal yang diinginkannya tersebut semakin menjauh dari jangkauannya yang menyebabkan mereka semakin tertantang untuk lebih meningkatkan kualitas hidup artifisial yang di persepsikannya.
Kebahagiaan artifisial karena didapat dari kondisi yang lekat dgn praktek-praktek dehumanisasi dan denaturalisasi (praktek artifisial) berkorelasi pada bentuk kondisi sosial saling mengancam (sering kali bersifat laten) dan perasaan terancam yang kemudian menimbulkan kondisi kehidupan tidak aman, cemas, ketakutan, iri, sehingga melahirkan rencana strategi defensif dan opensif yang menuntut semakin di percanggih dalam setiap waktunya untuk mengalahkan atau menangkal strategi yang dibuat orang lain yang dalam perspektifnya adalah rifal .
Dalam kondisi seperti ini kehidupan artifisial menjadi wahana kehidupan manusia yang tidak sehat yang penuh residu kehidupan dan menjadi sebab timbulnya wabah penyakit dis integrasi jiwa, yang kemudian dalam penanganannya juga manusia coba dengan cara-cara artifisial sebagai bentuk yang memperlihatkan betapa sulitnya lepas dari belenggu kehidupan artifisial yang telah begitu kuat mencengkramnya.

Manusia lalai bahwa logikanya sendiri sudah mengisyaratkan bahwa 1 bukanlah a. 1 hanya akan menjadi makna bila bersekutu dengan bilangan lainya...dan A juga hanya akan bermakna bila bersekutu dengan aksara lainnya.
Artinya bahwa kehidupan dunia itu nyata, sebagaimana dinyatakan secara subyektif oleh raga melalui perangkat pancaindra dan akalnya tidaklah berarti benar/tepat. Kehidupan dunia merupakan rangkaian dari perjalanan siklus kehidupan menuju tahap keabadian terahir yang gaib (transenden). Bila kehidupan akhirat sebagai tujuan ahir kehidupan manusia diluar pengalaman dan kesadaran manusia, hal ini mengindikasikan bahwa hidup didunia dengan hanya megandalkan pedoman akal semata pastilah tidak bisa dikatagorikan meraba raba. Sebab meraba raba atau spekulasi merupakan suatu kondisi dimana pada ahirnya proses memiliki kemungkinan peluang menuju ke arah yang tepat atau tidak tepat.
Berarti dengan logika di atas kehidupan didunia bagi manusia merupakan kehidupan transenden dalam persepsi empiris. oleh karena itu satu satunya pedoman yang haq bagi perjalananan kehidupan dunia untuk menemukan jalan yg tepat menuju jalan ahirat adalah petunjuk dari yang menciptakan kehidupan itu sendiri.

Bila manusia merasakan kehidupan surga didunia itulah tanda manusia akan merasakan kehidupan surga ahirat (hadis).
Maka untuk itu sebaik baiknya kesadaran yang harus dimiliki oleh manusia sikap RASA RUMASA...
Rumasa tidak tahu ahirat sehingga mempercayai wahyu Tuhan yang kita imani menjadi pedoman hidup di dunia...
Rumasa lahir karena akibat dari kasih sayang orang tua, menjadikan kasih sayang sebagai alat untuk membalas kebaikan keduanya.
Rumasa lahir dalam lingkungan masyarakat yang terbentuk juga oleh kasih sayang dan telah ikut serta memaknai ke aku an, menjadikan kasih sayang menjadi landasan dari segala sikap dan perilaku kemasyarakatannya...
Rumasa hidup dan kehidupannya berada dan ditopang oleh kasih sayang lingkungan alam, menjadikan kasih sayang sebagai imbal perlakuan pada lingkungan alam.
Rumasa bahwa sebetulnya kehidupan dunia adalah bisa mengecoh, maka setiap detik dalam setiap situasi dan kondisi Tuhan selalu dihadirkan dalam kesadaran manusia untuk selalu diajak berdialog dlm memahami seluruh fenomena.... Wallahu a lam.

No comments:

Post a Comment