Sunday 23 December 2012

Pendidikan Non Formal adalah Hak Tokoh-tokoh Masyarakat Setempat (Unit Sosial Nonformal/community)


Sejarah masa lalu adalah landasan kehidupan masa sekarang. Perkembangan suatu masyarakat/penduduk yang didasarkan pada nilai-nilai sejarahnya sendiri merupakan kemajuan hakiki sesuai dengan fitrahnya. Dengan didasarkan pada kearifan lokal daerahnya, maka perkembangan suatu masyarakat tidak akan menyebabkan manusia-manusia pembentuk masyarakat tersebut kehilangan jati dirnya atau karakternya. Sehingga kearifan lokal akan tetap terjaga dari gerusan roda zaman. Kearifan lokal akan tetap tercermin dan terimplementasikan dari sikap perilakunya. Seiring tercermin juga pada kondisi lingkungan sosial dan alamnya. Dengan demikian suatu daerah lingkungan masyarakat setempat ke UNIQUE kannya akan tetap terjaga. Tentu saja kondisi terjaganya keunikan masyarakat setempat dalam konteks era masyarakat global yang menuntut keseragaman dalam segala segi, sehingga ahirnya menghasilkan kejenuhan nuansa, akan bermuara pada tingginya nilai jual yang akan bermanfaat langsung pada peningkatan status sosial ekonomi masyarakat tersebut.

Masyarakat Setempat (unit sosial non formal/community) yang ada di Nusantara (sebelum lahirnya negara formal Indonesia) dalam berkehidupannya, baik di unit sosial informal maupun nonformal telah diatur oleh suatu tatanan yang tidak tertulis, yang lahir dari kerifan adat istiadatnya. Prinsif tertinggi tatanan adat istiadat hampir diseluruh nusantara adalah diletakan pada bagaimana kebersamaan berkehidupan. Sehingga dengan demikian kepentingan umum diletakan dalam hirarkie tertinggi. Dalam alam kejiwaan masyarakat adat seperti itu, seorang individu akan merasa tercela/terhina bila dia tidak berkontribusi sepenuh jiwa raga pada kepentingan umum masyarakatnya. Mengapa? karena masyarakat umum setempatnya beserta adat-istiadat dan pemangkunya baginya adalah entitas yang telah sanggup menjaganya dari gangguna eksternal dan internal. Gangguan Eksternal yang dimaksud, merupakan gangguan yang diidentifikasi memiliki kemampuan mengancam baik secara fisik maupun phisikis, yang datangnya dari luar kelompoknya. Seperti ancaman binatang buas, kelompok out groupnya, hama dan wabah penyakit serta bencana alam. Gangguan internal, adalah potensi yang mengandung ancaman secara fisik maupun phisikis yang datangnya dari golongannya sendiri.

Dengan kondisi berkehidupan seperti di atas, pada ahirnya masyarakat setempat didorong pada suatu kondisi kemandirian. Seluruh hajat hidupnya dipenuhinya secara mandiri melalui mekanisme antar peran yang ada di unit sosial in formal (keluarga) dan mekanisme antar peran yang ada dalam unit sosial nonformal. Dalam sistem sosial seperti ini peran tokoh-tokoh masyarakat setempat (pemangku adat istiadat) sangat strategis dan integral. Tokoh-tokoh inilah yang senantiasa dituntut untuk menghasilkan intuned(titik persamaan diatas perbedaan) dalam setiap mekanisme musyawarah warganya yang menyangkut penyelesaian perselisihan yang timbul. Sehingga dengan cara win-win solution ini setiap yang berperkara menerima keuputusan tokohnya dengan sepenuh kesadaran. Sikap tokoh masyarakat yang bijak dan rela berkorban ini pada ahirnya menghasilkan sikap hormat dari para warga masyarakatnya. Sehingga sikap perilaku dan kata-katanya selalu ditiru dan di gugu tanpa reserve.

Berdasar sedikit kajian sejarah diatas, maka SEJATINYA pendidikan nonformal adalah hak tokoh2 masyarakat setempat (community/unit nonformal). Kalaupun bila suatu masyarakat setempat di pandang kurang dlm kualitas SDMnya (hasil penilaian dari kacamata formal), seharusnya yg dididik tersebut adalah tokoh2 masyarakatnya. Bukan langsung pada anggota masyarakatnya sebagai subyek. Kemudian dlm prosesnya, tokoh itulah yang akan menjalankan fungsi pencerahan bagi warga masyarakat setempat lainnya...Maka dgn demikian pula proyek2 (dana2 dr pemerintah/ lembaga dunia/csr) Pendidikan in dan nonformal adalah hak masyarakat setempat, yang seharusnya dimandatkan pada tokoh2nya (Pemerintah Desa), bukan pada akademisi formal yang tidak memiliki kaitannya sama sekali. Mengapa? karena walau salah satu fungsi akademisi formal adalah pengabdian pada masyarakat, namun anggaran puntuk pengabdiannya dialokasikan secara khusus melalui induk perguruan tingginya. Bukan proyek pemerintah yang langsung untuk membiayai Program pendidikan in dan non formal.

Andai saja PLS di rubah menjadi SPPS, maka alumninya berkemungkinan memiliki peluang besar akan diserap oleh pemerintahan desa, kecamatan, propinsi bahkan pemerintah pusat . Dijadikan peran sebagai jembatan oleh pemerintah (formal) dan menjadi mitra pembangunan masyarakat bagi tokoh2 masyarakat setempat (non formal). Mengingat peran tersebut belum ada dalam sistem profesi yang telah dilindungi resmi oleh regulasi...Wallahu a lam.

No comments:

Post a Comment