Mentafakuri Fenomena Kesetiaan Primordial
Setiap
orang sudah tentu dikarunia suatu potensi yang disebut dengan kesetiaan
priomordial. Kesetiaan ini bermula pada status ascribed; status fitrah
yang diberikan secara langsung oleh Tuhan pada individu melalui
lingkungan informal (keluarga) dan nonformal (community/unit sosial
masyarakat setempat). Kesetiaan primordial merupakan status yang
didapat sejak dari lahir. Seperti kesetiaan dan bangga pada spesiesnya,
setia dan bangga pada jenis kelamin yang dimilikinya, kesetiaan dan
rasa bangga pada keluarganya, kesetiaan dan bangga pada agamanya,
kesetiaan dan rasa bangga pada lingkungan alam, community dan budayanya.
Kesetiaan primordial ini lah yang kemudian melahirkan sikap siap
sedia untuk membela yang dibanggakan, dan dianggap penting tersebut.
Seringkali kesetiaan primordial mengatasi atau melampaui akal sehat.
Kesetiaan pada sesuatu yang dibawa sejak lahir ini seolah menjadi harga
mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ukuran kebenaran logika yang
telah menjadi kebenaran ilmiah sekalipun tidak akan mampu membuat
kesetiaan primordial berubah.
Bagi manusia yang terbiasa
menafakuri ayat-ayat kauniah (ayat-ayat Allah yang disimpan pada
fenomena alam), tentu saja fenomena kesetiaan primordial banyak
mengandung ilmu dan hikmah serta berdampak pada dimilikinya wawasan haq
(insight haq). Wawasan haq yang telah dimiliki pada ahirnya akan
mengindikasikan bahwa dibalik adanya perubahan yang sudah menjadi
sunatullah kehidupan fana, ada hal-hal yang tetap harus dipertahankan,
yaitu SUBSTANSI SUBYEK perubahan itu sendiri, yaitu MANUSIA SANG
KHALIFAH DIMUKA BUMI. Mengapa? karena hanya subyek itu sendiri yang
memberi makna pada perubahan yang terjadi. Bukan perubahan dan hasil
perubahan yang kemudian memberi makna pada subyek. Karena itu tak
mungkin, mengingat dalam dimensi kehidupan empiris hanya spesies
manusialah yang diberi anugrah mampu memaknai kehidupan, sebagaimana
Descartes juga mengungkapkannya dalam kalimat 'COGITO ERGO SUM' (aku
berpikir maka aku ada). Manusialah yang memaknai sesuatu itu perubahan.
Namun dengan kemampuan memaknai dari setiap fenomena kehidupan, pada
ahirnya, manusia juga bila TIDAK SADAR AKAN HAKEKAT DIRINYA SEBAGAI
SUBYEK, niscaya akan dipengaruhi sepenuhnya oleh hasil dari perubahan
yang secara artifisial dia konstruksi sendiri. Dalam arti lain menjadi
obyek yang dimaknai oleh hasil perubahannya sendiri. Atau maksud semula
merancang bangun perubahan untuk mengimplementasikan kewajiban secara
kafah sebagai hamba Allah, melalui menjalankan peran sebagai Khalifah
dimuka bumi, malah kenyataannya justru menjadi obyek yang dipengaruhi
sepenuhnya oleh hasil perubahan yang dibuatnya sendiri.
Kita
ambil contoh yang mudah-mudahan lebih bisa memperjelas ide pikiran
diatas. Untuk memudahkan implementasi perintah Allah dalam hal tablig;
proses sehingga ilmu yang haq menjadi milik semua umat, manusia
merancang bangun suatu pranata pendidikan (dalam unit sosial formal
disebut UU Sisdiknas). Diantara konsekwensi yang terjadi dalam pranata
sosial pendidikan tersebut timbul adanya pendelegasian amanah. Amanah
sebagai pengelola pranata pendidikan (dalam unit sosial formal disebut
management/administrasi). Amanah sebagai dai, pamong, ustadz (dalam unit
sosial formal disebut tenaga pendidik, guru atau dosen) yang memiliki
fungsi penyampai ilmu. Dan tentu saja siswa/mahasiswa sebagai subyek
yang membutuhkan ilmu sebagai komponen paling penting mengingat
posisinya sebagai pemakai jasa pranata pendidikan tersebut (tanpa ada
murid/mahasiswa pemakai jasa pranata pendidikan, secanggih apapun
pranata pendidikannya, proses pendidikan tdk akan berjalan).
Kemudian demi berjalannya proses penyampaian ilmu supaya terarah,
terukur, efektif dan efisien dibuatlah kurikulum, dan aturan yang
mengatur waktu dan tata hubungan antara orang-orang yang terlibat dalam
pranata pendidikan tersebut secara detil. Dan last but not least
dibuat pula aturan yang mengatur hirarkie kepangkatan atau tingkatan
personal in box pranata pendidikan yang sangat bertalian erat dengan
karier dan besaran gajih. Termasuk aturan hirarkie mahasiswanya. Hanya
bedanya kalau managemen/administratur dan guru/dosen semakin lama masa
kerjanya semakin meningkat pangkat dan golongannya (bila 'kreatif &
cerdik') dan otomatis semakin besar PENERIMAAN finansialnya. Kalau
mahasiswa semakin lama masa belajarnya semakin besar PENGELUARANNYA
(biaya).
Dengan kondisi pranata pendidikan (formal) yang sejelimet
diatas, pada ahirnya berpotensi membelokan niat awal manusia yaitu
ingin mempermudah dalam mengimplementasikan perintah Allah dalam
penyebaran ilmu yang haq. Yang lebih parah lagi motif mencari ridho
Allah pada ahirnya harus menyerah kalah oleh motif mencari jabatan
(tahta) dan penghasilan finansial (harta).
Dengan demikian inilah
contoh real, faktual, aktual, kongkrit, empiris dan verifikatif, suatu
perubahan yang memakan si perubahnya sendiri. Perubahan dimana subyek
terbalik menjadi obyek.
Aturan kepangkatan dan golongan yang
telah dibuat oleh manusia menjadi orientasi utama pengabdian (seharusnya
ridho Allah lah yang menjadi orientasi pengabdian utamanya) manusia.
Manusia dalam konteks ini lupa terhadap hakekatnya sebagai subyek
(Khalifatullah fil ard), sehingga rela diatur oleh aturan yang dibuatnya
sendiri. Rela di khalifahi oleh aturan yang telah dibuat oleh hasil
akal pikirannya sendiri. Rela menurunkan derajatnya di bawah derajat
yang justru oleh sang Khalik seharusnya hanya dijadikan tools hidup
oleh manusia (akal pikiran). Pada ahirnya aturan Allah yang menuntun
pada kebahagiaan haqiqi manusia di bumi dan kebahagiaan langgeng di
achirat kelak, tertutup oleh bayang-bayang gemerlapnya
sinar
birokrasi yang sangat menyilaukan mata alam fana hasil teknologi ilmu
sosial manusia. Maha cemerlangnya nur Illahi yang ada dihati nurani
lambat laun redup tertutup oleh keartifisialan hidup. Manusia tidak lagi
memiliki substansi fitrahnya. Dia merubah wujudnya dan salin rupa
menjadi mahluk yang suka memakan darah sesama. Tugas Menghamba hanya
kepada Allah semata melaui proyeksi memuliakan sesama, berbelok arah
hanya menghamba pada sesama hamba yang gara-garanya banyak harta,
kuasa dan tahta. Niscaya jahiliyah sedang terulang dalam kehidupan
sekarang, namun tak terasa karena samar oleh kesalah arahan nalar.
Mukjijat warisan Rasul penutup yang telah disempurnakan karena memang
paling sempurna diantara yang ada sampai ahir masa, hanya dijadikan
pedoman pada saat kelahiran, pernikahan,dan kematian. Pada saat pergi ke
tempat kerja, yang teringat hanyalah kuasa harta dan tahta, sehingga
iman lupa tak dibawa serta. Iman kemudian menjadi terbiasa ditinggalkan
di rumah, dimasjid atau di mushola. Ilmu faroid yang haq untuk mengatur
secara maslahat bagi waris bagi yang mengimaninya (konon), dipedesaanpun
sekarang banyak dicampakan, hanya gara-gara dirasa oleh akal nafsunya
menyimpan ketidak adilan ditinjau dari keadilan jender dan hak asasi
manusia.
Demi tidak berlarutnya keadaan yang karut marut
diatas, harusnya kita mengambil hikmah dari mengapa manusia diberi
potensi kesetiaan priomordial. Kita sebagai manusia harus tetap setia
dan bangga sebagai manusia dengan tetap mempertahankan hakekat
(substansi, esensi dan fungsi). Setia dan bangga menjadi laki-laki atau
perempuan dengan cara tetap mempertahankan hakekat dari jenis kelamin
tersebut dgn tanpa mencampuradukan, walau dgn ilmu manusia yg paling
canggih dan termutahir sekalipun. Setia dan bangga pada Agama yang kita
imani dengan cara mengamalkannya secara kafah dari sejak bangun tidur
sampai bangun tidur berikutnya, bahkan sampai bangun di alam yang
berbeda. Setia dan bangga pada community dan adat istiadat (budaya)
tempat dimana kita dilahirkan dengan cara mempedomaninya dikala kita
bersikap, bertingkah, berpikir, berasa dan berbahasa. Setia dan bangga
pada keluarga dimana kita dititipkan dengan cara berpedoman pada agama
dan darigama (adat budaya)...Wallahu a lam.
No comments:
Post a Comment